Entrepreneurship Subject Sejak Dini

Untuk dapat menjelma sebagai negara yang maju, setidaknya 2% dari total penduduk di sebuah negara haruslah berprofesi sebagai entrepreneur (berwirausaha). Jika total penduduk Indonesia mencapai 237 juta jiwa, maka diperlukan setidaknya 4,7 juta penduduk untuk menjadi wirausahawan. Di Indonesia sendiri, angka itu masih sangat jauh, Menko Perekonomian Hatta Radjasa mengemukakan saat ini Indonesia hanya menenuhi 0,24% saja atau 592 ribu dari total 237 juta jiwa yang berprofesi sebagai wirausahawan. Walaupun pertumbuhan ekonomi dilaporkan terus naik bahkan dapat mencapai 7% pertahun namun sesungguhnya pertumbuhan itu dapat lebih tinggi jika masyarakat dipacu produktivitasnya. Salah satunya dengan cara memotivasi dan menggenjot masyarakat untuk menjadi seorang entrepreneur

Menjadi entrepreneur bukan hanya memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun lebih dari itu, multiplier effect akan dirasakan oleh masyarakat luas secara langsung, seperti penciptaan lapangan pekerjaan, peningkatan kesejahteraan hingga membantu mengentaskan kemiskinan.

Untuk menjadi seorang entrepreneur tidak hanya sekadar membutuhkan bakat dan talenta sejak lahir, namun dapat dilatih dan diajarkan. Di banyak perguruan tinggi, telah banyak mata kuliah khusus tentang entrepreneurship (kewirausahaan), diharapkan dengan menyisipkan pelajaran tentang kewirausahaan, para sarjana tertarik untuk membangun bisnisnya sendiri. Tidak lagi berorientasi sebagai job seeker, namun sebagai job creator. Sebagaimana  yang menjadi mainstream dari dulu hingga kini, menjadi amtenar atau priyayi adalah pilihan yang lebih bijak daripada menjadi seorang yang secara finansial mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Sejatinya, sikap seperti itu merupakan sifat feudal peninggalan penjajah yang seharusnya mulai diubah.

Walaupun di banyak perguruan tinggi telah diajarkan mata kuliah entrepreneurship, sejatinya pendidikan kewirausaaan akan jauh lebih baik jika diterapkan semenjak pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP dan SMA/ SMK) supaya anak didik dapat belajar lebih dini mengenai ilmu dasar kewirausahaan dan mampu memotivasi diri mereka sendiri untuk menjadi pengusaha di kemudian hari. Menjadi wirausahawan tidak hanya cukup modal dan jaringan, namun sikap seorang wirausahawanlah yang mesti harus getol dikembangkan. Merrideth (1996:5-6) mengemukakan ciri yang harus dimiliki seorang wirausahwan antara lain percaya diri, berorientasi pada tugas dan hasil, mampu dan siap mengambil dan menanggung resiko, memiliki jiwa kepemimpinan, orisinil serta berorientasi masa depan. Sikap-sikap tersebut memang tidak dapat secara langsung dipelajari di bangku sekolah, namun pendidikan merupakan salah satu cara terbaik untuk mentransfer pemahaman dan mengembangkan karakter siswa yang berorientasi pada kemandirian dan membentuk watak sebagai job creator kelak di kemudian hari.

Pelajaran-pelajaran yang bermuatan ilmu kewirausahaan dapat disisipkan menjadi kurikulum tambahan, dan materinya pun tidak hanya sekadar teori normatif namun juga dapat dikolaborasikan dengan materi yang sifatnya aplikatif dan praktis, seperti para siswa yang diajarkan mengenai pemasaran produk secara online, membuat event kewirausahaan seperti bazaar, pameran industry kreatif, Garage Sale dan sebagainya yang bertujuan untuk membentuk karakter para siswa yang percaya diri, kreatif dan dapat secara langsung mempraktekkan ilmu kewirausahaan yang didapatnya.

Dengan mensinergikan antara dunia pendidikan dengan pembentukan mental wirausaha para siswa, maka bukan tidak mungkin manusia Indonesia yang kini digadang-gadang sebagai ‘generasi emas’ akan betul-betul menjadi manusia Indonesia yang kreatif, visioner dan memiliki kemauan dan kemampuan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang nantinya akan mampu berkontribusi dalam pencapaian tujuan bangsa dan negara.

*Tulisan ini pernah dipublikasikan di Kolom Pendidikan, Harian Kedaulatan Rakyat, 9 Juli 2012