Refleksi Wajah Pendidikan Indonesia di Daerah : Sebuah Otokritik Sistem Pendidikan Sekarang (part 1)

*tiba-tiba kepikiran nulis pengalaman waktu KKN gara2 ikutan Roadshow IM tadi siang.. Mana semangatnya yang pengen jadi pengajar di daerah terpencil??? eyaaaa..*

——————————

“Pendidikan bukan persiapan untuk hidup. Pendidikan adalah hidup itu sendiri”(John Dewey)

“Mendidik adalah memimpin” (Hatta, dalam Baswedan, 2012 RoadshowIMJogja)

“Apa ibukota Sulawesi Selatan, Asrul?”

“Sinjaiiiii kaaakkk”

“Kalau.. ibukota negara kita, Indonesia?”

“emm.. (berpikir).. Kartini Kaaakk!”

 Itu salah satu pertanyaan yang pernah saya lemparkan kepada anak kelas V SD di SD Negeri 076 Pusanti, Desa Barania, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan. Bagi sebagian anak, tentu tidaklah sulit menjawab pertanyaan semacam itu. Namun bagi mereka yang akses informasi dan pendidikannya terbatas, tentu bukan hal yang mudah menjawab dengan tepat pertanyaan-pertanyaan sederhana sejenis itu. Bagi sebagian besar anak usia SD kelas 4 keatas, menjawab soal mengenai ibukota negara, kepala negara dan bahkan UU otonomi daerah merupakan sebuah kewajaran, karena anak-anak SD di perkotaan mendapatkan akses informasi tidak terbatas dari lingkungannya. Dari guru-gurunya, tuntutan dari kepala Dinas Pendidikannya dan bahkan dari orang tua serta kecanggihan internet di gadget nya. Namun bagi sebagian besar anak-anak lainnya, yang tinggal jauh dari peradaban, di pedalaman hutan, di ketinggian gunung, di pesisir laut, di pulau-pulau terpencil di timur dan barat pulau Jawa, mendapatkan pengetahuan umum mengenai calistung (baca tulis dan berhitung) saja sudah merupakan anugerah. Boro-boro hafal pancasila, membedakan huruf U dan N saja susah, jangan berharap pelajaran aljabar apalagi logaritma, menghitung sampe dua puluh saja banyak yang kacau. Bagi mereka, ilmu pengetahuan lebih seperti utopia semu yang hanya bisa diraih dalam mimpi. Ilmu pengetahuan jauh, peradaban jauh. Namun terlepas dari itu semua, jangan salah, semangat belajar anak-anak pedalaman bisa dikatakan jauh lebih murni dan lebih kuat dibandingkan semangat belajar para siswa di sekolah perkotaan. Mereka tak kenal hujan, panas sekalipun kabut dan badai. Mereka tak tahu apa itu jauh, capai, lelah dan titian sungai yang deras. Semangat belajar mereka menggelora, antusiasme yang diiringi kenekatan berangkat sekolah tiap pagi dari jarak yang teramat jauh, motivasi mengenal ilmu dan kemajuan. Tidak pernah kalah dan tidak pernah tertandingi dengan anak-anak lainnya yang tinggal di dekat keramaian fasilitas.

“Nanti kita belajar apa ki kakak?” pertanyaan berulang-ulang yang selalu ditanyakan oleh anak-anak yang berbeda setiap pagi. Belajar apapun, untuk mereka semua informasi adalah baru. Ya, sekolah di pelosok dalam negeri ini, berjarak teramat jauh dibandingkan sekolah-sekolah di daerah perkotaan. Inilah wajah Indonesia sesungguhnya. Kita jangan terkecoh dengan glamornya ibukota, majunya teknologi kekinian, tingginya apartemen-apartemen di tengah kota atau mewahnya gedung-gedung sekolah Jakarta, karena sejatinya bukan itulah wajah Indonesia secara hakiki. Wajah Indonesia adalah di pelosok hutan Kalimantan, di pinggiran perbatasan negeri, di gunung-gunung tinggi Papua yang jauh akan akses informasi, sinyal hape apalagi teknologi.

Ya, pendidikan adalah salah satu aspek yang hingga saat ini masih sangat berjarak antara Jawa-luar Jawa. Walaupun pendidikan merupakan amanat UUD yang –saking krusialnya- tertuang di preambule naskah konstitusi, namun hingga 67 tahun Indonesia merdeka saat ini pendidikan merata baru sekadar wacana diatas kertas. Paradigma pembangunanisme (developmentalism) yang dianut rezim orde baru justru menciptakan jurang kesenjangan yang semakin lebar antara pulau Jawa dan luar Jawa. Kontribusi rezim orde baru di bidang pendidikan yang hingga sekarang mungkin masih bisa dilihat adalah pendirian sekolah-sekolah inpres (instruksi presiden). Namun apa gunanya gedung sekolah tanpa seorang pendidik? Sama halnya seperti sebuah lentera tanpa gugusan cahaya.

Pengalaman mengajar di pedalaman Sulawesi Selatan, Desa Barania bukanlah sebuah pengalaman yang teramat menyayat hati, masih banyak daerah-daerah yang jauh lebih menyesakkan. Namun pada hakikatnya anak-anak yang berada di pedalaman memiliki kebutuhan yang sama untuk pendidikan, kebutuhan yang tidak lebih berlebihan daripada anak-anak kota yang hidup di Jawa. Kebutuhan untuk didekatkan pada informasi, didekatkan pada pengetahuan, pada peradaban.

Itu sedikit refleksi wajah pendidikan tanah air yang sesungguhnya. Pendidikan dalam konteks pedagogik kontemporer menurut Paulo Freire bukan hanya investasi untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang bermasa depan cerah, melainkan lebih dari itu yakni pendidikan sebagai proses penyadaran yang berlangsung terus menerus yang bertujuan untuk membuat manusia memahami realitas dirinya dan dunia sekitarnya. Merujuk pada konsep dasar itulah harusnya pendidikan dimaknai. Pendidikan bukan merupakan media legitimasi kekuasaan dan status quo seperti saat orde baru terjadi, pendidikan tidak juga harus saklek dimaknai sebagai alat politik pencapaian tujuan negara. Jauh lebih sederhana dari itu, pendidikan adalah proses penyadaran terhadap realitas kehidupan, pendidikan adalah proses ‘memanusiakan’ manusia, membuatnya sadar akan eksistensinya dalam kehidupan dan lingkungannya, serta terbebas dari pembodohan pihak lain. Lantas apakah realitas yang selama ini dialami adik-adik kita di pedalaman adalah pendidikan yang demikian? Yang memanusiakan, yang membebaskan? Jika teladan dan guru yang tulus saja sangat susah ditemukan, bagaimana transfer kebudayaan dan ‘pembebasan’ itu dilakukan? (to be continue…)

Leave a comment